Hubungan Karma Dan Bencana Alam Dalam Pandangan BUDDHISME

Hewanpun Bisa Merasakan Bencana Alam

Menurut Barbara O’Brien dalam bukunya Rethinking Religion: Finding a Place for Religion in a Modern, Tolerant, Progressive, Peaceful and Science-affirming World (2014), karma diciptakan oleh pikiran, kata-kata, dan perbuatan kita.
Setiap tindakan kehendak, termasuk pemikiran kita, memiliki efek. Efek atau konsekuensi dari pikiran, kata, dan perbuatan kita adalah “buah” karma, bukan karma itu sendiri.

Sebulan yang lalu benua Amerika, tepatnya di pantai negara bagian Texas dan Florida berturut-turut disapu oleh angin puting beliung dengan kecepatan hingga 300 km/jam dan disertai hujan deras.
Bencana alam yang berupa badai dari laut tersebut dikenal dengan istilah tropical cyclone atau hurricane yang berasal dari lautan Pasifik dan lautan Atlantik.

Badai tersebut memakan korban hampir sekitar 100 jiwa manusia, walaupun penduduk di dua negara bagian Amerika Serikat tersebut sudah disarankan untuk mengungsi. Total kerugian materi dari kedua bencana alam tersebut diperkirakan sampai mencapai 150 billion dollar.

Hampir bersamaan dengan bencana badai tersebut, dalam waktu yang berurutan beberapa daerah di Meksiko yang berbatasan dengan Guatemala terkena bencana alam gempa bumi terbesar dalam 100 tahun terakhir berkekuatan 8,1 MMS (moment magnitude scale). Belum genap 2 minggu sejak peristiwa tersebut, Mexico City diguncang gempa susulan berkekuatan 7,1 MMS. Diperkirakan bencana alam tersebut menelan korban sekitar 1.000 jiwa manusia.

Hampir 13 tahun yang lalu, gempa bumi di dasar Lautan Hindia berkekuatan 9,1 – 9,3 MMS yang menciptakan gelombang air pasang tsunami sampai setinggi 51 meter di daerah Lhok Nga sebelah Barat Laut pulau Sumatera. Sebelas negara: Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Maladewa, Malaysia, Madagaskar, Somalia, Kenya, Tanzania, dan Afrika Selatan terkena tsunami tersebut dengan total korban dan hilang sekitar 230 sampai 280 ribu jiwa.

Setiap ada berita tentang bencana alam yang mengerikan di mana pun di planet ini, seringkali pembicaraan mengenai karma akan muncul. Apakah manusia meninggal dunia karena bencana alam adalah “karma” mereka? Jika sebuah komunitas dilenyapkan oleh banjir, gunung meletus atau gempa bumi, apakah seluruh masyarakat mendapat hukuman? Kalau seseorang terbunuh karena bencana alam, apakah itu berarti dia telah melakukan sesuatu yang salah sehingga layak mendapatkan hukuman? Jika dia orang yang lebih baik, apakah dia akan lolos dari kematian?

Sebagian besar pemimpin aliran agama Buddha mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara karma dan bencana alam. Pendapat bahwa manusia dapat menghindarkan diri dari bencana alam jika kita berkelakuan dan berbuat sangat baik adalah pandangan yang keliru. Namun, ada kepercayaan yang terus-menerus, bahkan menurut aliran tertentu ada yang mengatakan bahwa beberapa orang yang memperoleh karma “baik” akan memastikannya berada di tempat yang aman pada saat bencana terjadi.

Menurut banyak pendapat juga berdasarkan nalar, pandangan tersebut bahwa karma berkaitan dengan bencana alam adalah salah dan tidak didukung oleh ajaran Buddha. Hanya guru Dharma yang dapat menjelaskannya. Karena penjelasan ini sejalan dengan ilmu pengetahuan nyata dan masuk akal, maka agama Buddha dapat diterima dan berkembang di negara-negara yang penduduknya berpikiran kritis dan realistis.

Buddha mengajarkan bahwa ada lima jenis hukum alam, yang disebut niyama, yang mengatur dunia secara luar biasa (fenomenal) dan dengan kepercayaan jiwa (spiritual), dan karma hanyalah satu dari lima hukum alam tersebut.

1. Hukum alam dan karma Lima hukum alam menurut ajaran Buddha ialah: Pertama, hukum alam untuk benda mati (Utu Niyama). Kedua, hukum alam untuk benda hidup (Bija Niyama). Ketiga hukum alam sebab akibat (Karma Niyama). Keempat, hukum alam kenyataan atau keberadaan (Dharma Niyama) termasuk di dalamnya ajaran tidak ada diri (Anatta) dan kekosongan (Shunyata). Kelima, hukum alam kesadaran pikiran dan hati (Citta Niyama).
Karma tidak menyebabkan gravitasi. Karma tidak menyebabkan angin bertiup atau membuat pohon apel bertunas dari biji apel. Lima hukum alam tersebut saling terkait, tetapi masing-masing berlangsung sesuai dengan kodratnya sendiri.
Karma secara sederhana artinya tindakan kehendak (volitional action). Banyak hal terjadi di dunia yang tidak disebabkan oleh tindakan atau kehendak manusia. Jadi jangan sampai menghakimi para korban bencana alam dengan mengatakan bahwa mereka pasti telah melakukan sesuatu yang salah sehingga mendapatkan bencana, karena mereka tidak bermurah hati, tidak mencintai, dan tidak bijaksana.
Penghakiman semacam itu menciptakan karma buruk. Di mana ada penderitaan, semestinya kita terpanggil untuk membantu, bukan untuk menghakimi. Dalam agama Buddha, karma bukanlah sistem peradilan pidana kosmik (cosmic criminal justice system) yang berhubungan dengan luar dunia (extraterrestrial) atau alam semesta (universe).
Karma juga tidak berhubungan dan tidak peduli dengan gagasan spiritual atau metafisik yang abstrak melampaui batasan yang ada (transcendent) dan tidak berkaitan dengan tatanan keberadaan di luar alam semesta yang berhubungan dengan Tuhan atau tuhan, dewa, roh, atau iblis (supernatural).
Yang paling penting untuk dipahami ialah bahwa keadaan pikiran seseorang sebelum bertindak adalah sangat penting. Karma yang ditandai dengan kotoran batin, khususnya keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan akan mengakibatkan efek berbahaya atau tidak menyenangkan. Karma yang ditandai oleh kebalikannya yaitu kemurahan hati, cinta kasih dan kebijaksanaan akan menghasilkan efek yang bermanfaat dan menyenangkan.

2. Penyerahan total tanpa penyesalan Pasti banyak pembaca yang menonton film Bucket List (2007) yang diperankan oleh Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Keduanya memerankan 2 pasien kanker yang divonis mati oleh dokternya. Mereka punya daftar rencana, salah satunya mengunjungi pangkalan perkemahan di lereng pegunungan Himalaya, Mount Everest, Nepal. Tetapi keduanya hanya penasaran sampai sekitar Ibukota Kathmandu karena saat itu cuaca sangat buruk dan berkabut. Rasa penasaran itu menjadi kepuasan tersendiri dan kerelaan yang nyata setelah berusaha untuk tetap bersemangat.
Nepal ialah negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Buddha. Kathmandu merupakan salah satu tempat bersejarah dunia, termasuk jalur Jalan Sutera, rute perjalanan sejauh 6.000 km untuk perdagangan dan penyebaran kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat yang dimulai sekitar tahun 114 Sebelum Masehi sampai sekitar tahun 1450’an.
Pada musim semi dua tahun yang lalu, lebih dari 5.000 orang meninggal dunia, 10.000 orang luka-luka dan masih banyak yang dinyatakan hilang dalam gempa bumi di sekitar Kathmandu. Banyak biara, rumah rakyat, hotel runtuh, juga menara Dharahara yang terkenal. Para korban termasuk biarawan, rakyat jelata, dan turis juga para pendaki gunung beserta sherpa di “Negeri Atap Dunia” tempat gunung tertinggi di dunia yang berbatasan dengan Tibet.
Tidak ada yang menyakralkan dan menyalahkan bencana tersebut, mereka pasrah. Penyebabnya karena lokasi tersebut merupakan pertemuan 2 lempeng tektonik India dan Eurasia yang berbenturan dan menyingkap tenaga ke atas kerak bumi dengan kekuatan 7.9 MMS. Bencana alam ini berulang-ulang terjadi, sudah diduga sebelumnya, dan akan terjadi lagi kelak.
Mungkin inilah yang menyebabkan Kathmandu makin terkenal, karena kebebasan memilih dan konsekuen dengan hukum sebab akibat. Dengan makin banyak bangunan tinggi di tanah bertangga teras siring seperti di Kathmandu, penyelamatan dan pembangunan kembali memerlukan waktu lebih lama.

Gempa bumi seperti itu dan bencana alam yang lain dapat terjadi di mana saja. Bedanya bencana alam di Nepal dihadapi dengan tabah dan penyerahan total.
RIP (Rest in Peace) bagi semua korban bencana alam yang makin sering terjadi berkaitan dengan pemanasan global dan perubahan iklim, dikuatkan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Comments

Popular posts from this blog

Fakta Mengenai Dewi Anjani Menurut Agama Hindu

Putu Robinson Jro Balian Jaman Now Mampu Menyembuhkan Segala Penyakit

Kenapa Nama Belakang Bowo Adalah Alpenliebe?