Konsep Penyatuan Diri dengan Gunung Rinjani
DIPISAHKAN oleh selat kecil nan
dalam, Pulau Lombok seperti kembaran Pulau Bali. Gunung Rinjani menjulang di
tengah pulau ini, persis seperti Gunung Agung yang berdiri megah di tengah
Pulau Dewata. Berbeda dengan masyarakat Bali yang mayoritas masyarakatnya
memeluk agama Hindu, masyarakat di sekitar Gunung Rinjani dan Lombok memeluk
agama Islam. Sama seperti masyarakat di lereng Gunung Agung, sebagian
masyarakat di lereng Gunung Rinjani juga masih memercayai kekuatan adikodrati
yang menjaga gunung. Jejak kepercayaan itu terlihat saat 11 warga Sembalun
Bumbung, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menggelar ritual pemandian suci di
hulu Sungai Kokok Putih di sekitar kaldera Gunung Rinjani pada 29 September
2011. Siang itu, mereka duduk di tepian telaga. Kaki anak-anak muda itu
terendam air sebatas lutut.
Kain putih membelit tubuh mereka sebatas pinggang.
Udeng yang juga berwarna putih melilit kepala. Mereka menunggu dalam diam. Dari
celah tebing, air panas mengucur deras ke telaga. Asap tipis mengepul di
sepanjang tali air yang berwarna putih kekuningan, kontras dengan hitamnya
bebatuan. Bau belerang samar tercium. Uapnya mengusir hawa dingin. Beberapa
langkah dari tepi telaga, pada sebuah ceruk, Haji Purnipa (65) duduk bersila.
Semerbak harum bunga, kemenyan, dan gaharu menguar dari tungku kecil di
depannya. Di ceruk itu dia membaca doa-doa. ”Memohon izin kepada para
aulia—orang suci yang dianggap menjadi wakil Tuhan di bumi,” kata Purnipa.
Seusai berdoa, dia melangkah ke arah telaga dan duduk bersila di atas batu
besar. Sejenak Purnipa terdiam. Lalu, tiba-tiba terdengar suara berat menggema.
Purnipa melantunkan tembang Kumambang Pengerumrum—di Jawa dikenal sebagai
Maskumambang.
Suaranya terpantul di dinding-dinding tebing yang mengelilingi
lembah itu. Melalui tembang itu, Purnipa memanjatkan doa-doa untuk anak-anak
muda itu. Pertama-tama, doa dipanjatkan kepada Dewi Anjani, yang disebutnya
sebagai penguasa Danau Segara Anak. Lalu, kepada para wali dari maghrib (barat)
sampai masyriq (timur). Doa juga dipanjatkan kepada Allah dan Nabi Muhammad
SAW. ”Semoga anak-anak itu menemukan apa yang diniatkan, yaitu pencarian jati
diri,” katanya. Bersama dengan dendang tembang, anak-anak muda itu bergantian
menyelam dalam telaga. Mereka telentang di dalam air hangat itu. Napas
tertahan, telapak tangan menyatu di dada, dan mata terpejam. Setiap orang tujuh
kali membenamkan diri ke dalam air.
Mereka lalu menggosok tubuh dengan tujuh
lembar daun tapen, tengah layu, dan terunas malam. Angka tujuh, menurut
Purnipa, menyimbolkan tujuh lapis roh manusia, tujuh lapis langit, dan tujuh
lapis surga. Daun tapen menjadi pembuka kotoran pertama di tubuh. Daun tengah
layu yang tak kenal layu, bahkan di musim kemarau, merupakan perlambang
kekekalan roh. ”Roh tidak akan mati, hanya berpindah alam,” kata Purnipa.
Terakhir, basuhan daun terunas malam menjadi simbol jiwa yang menebar
keharuman. Daun terunas malam itu sungguh harum dan nyaman dihirup. Sebelum
mengikuti ritual pemandian, mereka dibaiat agar menghentikan segala perilaku
buruk di masa lalu. ”Mereka berjanji pada diri sendiri untuk berubah. Kalau
dilanggar, mereka akan menanggung risiko berat,” ujar Purnipa. Pemandian di
sumber air panas ini menjadi puncak bagi segenap prosesi pencucian diri yang
dijalani anak-anak muda itu.
Dua malam sebelumnya, Purnipa membawa anak-anak
muda itu menembus kegelapan untuk berdoa di kompleks makam Raden Ketip Muda
yang dipercaya sebagai leluhur Desa Sembalun Bumbung. Temaram pelita yang
bergoyang-goyang diterpa angin menguak sosok pohon beringin yang berdiri kokoh
di depan sebuah pondok kayu berbentuk panggung. Satu per satu anggota rombongan
melepas alas kaki dan menapaki tangga masuk ke bangunan kayu beratap rumbia
itu. Satu per satu duduk bersila menghadap sesaji sesisir pisang, nasi tumpeng
ketan kuning, ayam ingkung, serundeng, dan dua poci air putih. Muhammad Saidi
(23), putra bungsu Purnipa yang berpakaian putih dengan ikat kepala hitam,
menyalakan dupa di nampan kecil.
Mimik muka Saidi serius. Ia membisu selama
mempersiapkan upacara pembadak untuk meminta izin sebelum mendaki Gunung
Rinjani. Ritual pembadak, menurut Purnipa, merupakan tradisi masyarakat
Sembalun Bumbung yang sekarang mulai pudar. Ritual ini merupakan kearifan lokal
masyarakat untuk hidup harmonis dengan alam pegunungan. ”Dulu, sebelum warga
berangkat ke gunung atau ingin mengambil sesuatu dari gunung, seperti menebang
pohon, harus didahului upacara pembadak, yaitu memohon izin terhadap alam,”
katanya. Ia harus menyatakan niat sebelum menebang pohon, misalnya untuk
membangun rumah. Pengambilan itu secukupnya, tidak boleh berlebihan. ”Kalau
niatnya hanya untuk rumah, tidak boleh menebang pohon untuk dijual,” katanya.
Ritual ini sekaligus menjadi kontrol supaya tidak terjadi penebangan liar di
hutan Rinjani, yang bisa mengganggu keseimbangan alam. ”Gunung Rinjani
merupakan pusat ngayu-ayu atau rahayu, kemakmuran. Karena itu, kita harus
menyatukan diri dengan alam,” ujar Purnipa. Penyatuan diri dengan alam itulah
yang akan dijalani para pemuda itu. Mereka ingin meninggalkan masa lalu yang
keliru dan mencari kedamaian hidup. Jarum jam menunjukkan pukul 19.15. Angin
bertiup semakin kencang. Titik-titik air mulai sering menerpa wajah seiring
embusan angin meruapkan dingin yang menggigilkan. Purnipa yang mengenakan
pakaian hitam dan jarit hitam bergegas memulai upacara. Doa-doa berbahasa Arab
diselingi kalimat-kalimat Jawa kuno mengalun. Alunan doa itu berselang-seling
dengan gemersik dedaunan ditiup angin. Ritual pembadak ini, menurut Purnipa,
dimaksudkan untuk meminta izin kepada Sang Pencipta dan kekuatan-kekuatan alam
yang ada di Gunung Rinjani supaya melindungi para pendaki, anak-anak muda yang
bertekad membersihkan diri. ”Mereka akan menyucikan diri di sana supaya tidak
mengulangi kenakalan-kenakalannya.”
Comments
Post a Comment